Kanker adalah penyumbang kematian ketiga terbesar setelah sakit jantung di Indonesia.
|
Pemeriksaan gejala/asiancancer.com |
JAKARTA - Kanker bisa terjadi di berbagai organ tubuh manusia, mulai dari kepala hingga kaki. Dari begitu banyak jenis kanker yang bisa menyerang siapa saja dan dalam usia berapa pun, deteksi dini merupakan hal penting yang harus dilakukan.
Sayangnya, tidak semua jenis kanker yang ada bisa dideteksi dini, apalagi bila kanker terjadi di dalam tubuh, sehingga sulit diketahui dan kadang tidak memiliki gejala.
Kalaupun timbul gejala, biasanya pasien tersebut sudah pada tahap stadium lanjut dan sulit diobati. Salah satunya adalah kanker nasofarings atau nasopharyngeal carcinoma (NPC). “NPC merupakan keganasan atau kanker pada area di bagian atas tenggorokan, di belakang telinga. Kanker ini juga merupakan kanker terbanyak ke-4 dari semua kanker pada laki-laki, yang insidensinya tinggi di Indonesia. Sayang, deteksi dini pada NPC dan juga pada jenis kanker lainnya, masih belum bisa berkembang dengan baik di Indonesia,” kata dokter sekaligus peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM), dr Susanna Hilda Hutajulu, Sp.PD, Ph.D.
NPC memiliki gejala-gejala awal tidak spesifik dan tidak khas seperti hidung tersumbat, hidung berdarah, gangguan pendengaran, nyeri kepala, pandangan ganda, dan adanya benjolan di leher.
Hal yang juga menjadi hambatan sehingga NPC tahap awal tidak tampak adalah area nasofarings yang tersembunyi, sehingga tidak bisa terlihat. Ini pula yang tidak bisa diketahui saat pemeriksaan fisik secara umum yang dilakukan baik oleh dokter ataupun pasien.
“Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan khusus seperti pencitraan dengan CT scan dan magnetic resonance imaging atau MRI, serta endoskopi hidung, yang biasanya dilakukan oleh ahli telinga, hidung, dan tenggorokan atau THT,” tuturnya.
Virus Epstein-Barr atau EBV
Penyebab NPC datang dari berbagai faktor, yaitu faktor genetic, epigenetik, radang kronik di area tenggorokan, dan juga faktor lingkungan. “Yang dimaksud dengan faktor lingkungan di sini adalah paparan karsinogenik dari bahan-bahan tertentu seperti asap rokok, makanan tertentu yang diasinkan atau diawetkan, dan juga infeksi virus Epstein-Barr atau EBV,” Susanna menerangkan.
Virus yang disebut juga sebagai human herpes virus 4 (HHV-4), merupakan salah satu virus paling umum pada manusia. EBV ini juga dikenal sebagai faktor yang paling erat kaitannya dengan kejadian NPC.
“Makanya kami dari kelompok penelitian EBV-NPC FK UGM, memandang perlu mengembangkan metode screening yang sederhana dan ekonomis, berdasarkan deteksi keberadaan virus itu,” ia menambahkan.
Secara keseluruhan protokol yang dikembangkan oleh Susanna dan beberapa dokter serta biologist disebut protokol deteksi dini menggunakan marker multiple. Marker multiple karena menggunakan tiga langkah metode dengan EBV marker, ditambah satu marker metilasi.
Beberapa metode telah dioptimasi di Laboratorium Biologi Molekuler FK UGM dan bekerja sama dengan EBV Group dari VU University Medical Center Belanda, menghasilkan metode yang memiliki kemampuan diagnostik lebih dari 90 persen untuk sensitivitas dan spesifisitas.
Metode-metode tersebut dapat diperiksa pada sampel darah dan sikatan epitel (jaringan sel, terdiri atas satu lapis atau lebih, yang menutup permukaan bebas dari tubuh dan beberapa alat tubuh–red) nasofarings. Metode ini juga telah digunakan sebagai konfirmasi diagnosis dengan pembanding biopsi, yang merupakan prosedur standar dari diagnosis NPC.
Setelah itu, metode tersebut dicobakan sebagai metode screening dalam suatu program temuan kasus pada para pasien yang datang ke rumah sakit dengan gejala-gejala yang mirip dengan gejala awal NPC. “Upaya ini menghasilkan deteksi kasus NPC stadium dini, yang kemudian bisa memberikan kesempatan bagi para pasien untuk mendapatkan kesembuhan lebih optimal,” kata Susanna.
Dalam penelitian yang dilakukan 12 orang yang terdiri dari tujuh dokter spesialis termasuk Susanna dan lima biologist, menemukan kalau lebih 30 persen pasien yang dites, menunjukkan hasil yang positif tanpa ditemukan benjolan tumor saat dilakukan pemeriksaan CT scan.
“Itu bisa saja terjadi karena hasil positif terhadap marker EBV, dapat terjadi bertahun-tahun sebelum kanker tampak secara jelas. Makanya kami undang mereka yang hasil tes marker EBV-nya positif untuk diperiksa lagi setiap tahun,” ujarnya.
Pelaksanaan pengujian yang dilakukan dari tahun 2007 ini dilanjutkan dengan mengembangkan marker baru yang didasari proses epigenetik atau marker metilasi DNA hingga 2010. Menurut Susanna, tujuannya untuk melihat apakah marker metilasi tersebut memberikan nilai tambahan diagnostik terhadap marker EBV.
“Penelitian kami ini menunjukkan bahwa marker metilasi DNA memiliki nilai diagnostik yang baik dan selanjutnya akan kami masukkan ke dalam protocol screening NPC yang menggunakan uji berbasis EBV agar diperoleh ketepatan diagnostik dini yang lebih cepat dan mampu menyingkirkan bias-bias yang mungkin terjadi,” ia menambahkan.
“Best Research”
Penelitian mengenai Multiple Markers for Early Identification of Nasopharyngeal Carcinoma yang dilakukan Susanna ini, pada Jumat (7/9), meraih juara pertama dalam kategori Best Research dalam ajang Ristek-Kalbe Science Award (RKSA) 2012.
Susanna pun berharap metode yang dilakukannya tersebut bisa membantu para pasien dengan keluhan tidak khas di area leher kepala, untuk menentukan apakah mereka menderita NPC atau tidak.
“Kalaupun menderita NPC, diagnosisnya dapat dilakukan pada keadaan yang masih awal. Semoga juga metode ini dapat dipakai secara luas di pusat kesehatan atau rumah sakit lain, dan semoga dengan pengembangan yang terus kami lakukan ini, tes untuk deteksi dini NPC ini dapat dilakukan dengan mudah dan murah, seperti sistem tes pada kehamilan,” ujarnya.
Tahun ini merupakan kali ketiga RSKA diselenggarakan oleh PT Kalbe Farma Tbk bekerja sama dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Dari total peserta 176 yang berasal dari 68 institusi pendidikan dan penelitian di 16 provinsi ini, dipilihlah empat pemenang, masing-masing tiga peneliti untuk kategori Best Research Award dan satu pemenang untuk kategori Young Scientist Research.
“Kami memfokuskan penelitian-penelitian yang ada pada scope bidang kesehatan, sesuai dengan konteks Kalbe yang merupakan perusahaan farmasi. Bidang kajiannya adalah bahan obat atau persediaan obat, metode diagnostik dan metode pengobatan, serta pangan fungsional,” kata Ketua Umum RKSA 2012, Widjanarko Loka Djaja, kepada SH, Jumat.
Pemenang lainnya untuk kategori Best Research Award adalah Debbie Soefie Retnoningrum, Ph.D dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan dr Bambang Widyantoro, Ph.D dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Untuk kategori Young Scientist Award, penghargaan diberikan kepada Widodo, S. Si, M.Si, Ph.D, Med Sc dari Fakultas MIPA Universitas Brawijaya.
“Kami berharap banyak yang bisa dilanjutkan. Karena kalau dilihat, beberapa pemenangnya meneliti di bidang yang berkaitan dengan kanker. Bidang kanker ini juga yang menjadi area fokus Kalbe sekarang. Kami juga ingin bisa kemudian melanjutkan penelitian dari para pemenang ini, sehingga masyarakat bisa menerima manfaatnya,” tutur Widjanarko. (CR-32/Berbagai Sumber)