Ribuan warga Kutai Kartanegara, Kaltim, terancam kanker paru. Pemerintah didesak segera menyikapi masalah ini.
|
(Dok:go4healthylife.com) |
SAMARINDA – Seorang pemerhati lingkungan Kalimantan Timur, Niel Nakimuddin, menilai kasus debu batu bara yang mengakibatkan berhenti kegiatan belajar-mengajar salah satu sekolah di Desa Jembayan, Loa Kulu, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur, harus disikapi secara tegas oleh pemerintah kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat, terutama Kementerian Pertambangan.
Ribuan warga Jembayan terancam sakit paru-paru, sakit penglihatan karena diserang debu limbah batu bara yang beterbangan, dan juga saluran pernapasan.
Sekretaris Dinas Kesehatan Kukar, Jaantje Taroreh, dalam Rapat Dengar Pendapat Badan Musyawarah DPRD Kukar baru-baru ini mengatakan, mata penduduk mulai merah dan gatal-gatal. Mereka pun mulai terkena flu ringan dan infeksi saluran pernapasan.
“Bila terlambat diobati, dan debu limbah batu bara tidak segera diatasi, selanjutnya akan fatal menghantam paru-paru, dan bisa kanker paru-paru. Sekarang saja sudah seorang yang terkena TBC,” ujar Jaantje.
Sementara itu, Sekretaris Desa Jembayan Machmud kepada wartawan mengatakan, hampir semua penduduk Jembayan merasakan sakit akibat debu. Debu juga diakibatkan oleh kendaraan berat bermuatan batu bara.
“Kondisi menyedihkan berdampak pada kesehatan penduduk tersebut setidaknya sudah setahun belakangan ini,” ujar Machmud.
Menurut Niel, pemerintah kabupaten, daerah, atau pusat, harus meneliti ulang masalah perizinan kelima perusahaan batu bara, terutama menyangkut Analisis Dampak mengenai Lingkungan (Amdal). “Mengapa pemerintah memberi izin operasi perusahaan tambang batu bara di dekat perkampungan dan hunian penduduk?” ujar Niel.
Pakar pengamat lingkungan Kaltim khawatir bila kelak kasus pencemaran lingkungan di Loa Kulu akhirnya berdampak pada pembiayaan daerah, yakni APBD. Ini bisa-bisa seperti Lapindo, kerugian ditanggung pemerintah lewat APBN. Rakyat pun terimpit dua kali kena dampak kemudian membayar pajak, mengganti kerugian mereka, sementara pemilik izin tambang meninggalkan lokasi pertambangan.
Menurut Niel, pemerintah harus membawa kasus tersebut ke ranah hukum, “Bisa kena perdata dan bisa juga pidana,” ujarnya.
Dikatakannya, tindakan Bupati Kukar Rita Wudyasari menyetop kegiatan tambang batu bara yang menimbulkan gangguan lingkungan hanya “sandiwara”, karena di antara perusahaan batu bara yang beroperasi di Loa Kulu milik kerabat Rita.
Lima perusahaan tambang batu bara di Loa Kulu, antara lain PT Bara Kumala Sakti, PT Asta Minindo, dan akan segera beroperasi PT Beringin Jaya melalui Surat Keputusan Bupati Kukar Nomor 540/1586.a.PIT/IX/2012 tanggal 10 September 2012, serta PT Asta Minindo dan PT Bara Kumal Sakti di Jembayan yang kegiatannya sudah dihentikan sementara.
Sementara itu, kelima perusahaan pertambangan batu bara di Loa Kulu sepakat menyerahkan dan memasangkan 35 unit AC kepada SMPN 2 Jembayan Loa Kulu.
Perusahaan juga menjanjikan membayar Rp 30 juta setiap bulan kepada SMPN 2 yang terparah menerima dampak debu batu bara. Uang Rp 30 juta per bulan tersebut sebagai uang partisipasi dan kompensasi perusahaan kepada sekolah. Uang tersebut akan diserahkan pada sekolah tanggal 5 tiap bulannya.