Julia ingin menjadi penari, pelukis, atau pun penyanyi saat dia besar kelak.
Siti Julia, bocah berusia 11 tahun ini, tetap lincah. Dalam hidupnya, ia penuh semangat dan keceriaan, kendati penyakit kanker mata atau retino blastoma yang dideritanya cukup parah.
Tuhan belum mau mengambilnya, karena dia selalu berikhtiar untuk hidup menjadi berguna bagi negaranya. Dia tak takut, meski kanker merenggut ribuan jiwa anak seusianya. Cita-citanya menyongsong, seakan tak peduli lagi sakit yang sedang dialaminya.
Kini, Julia harus hidup dengan ketergantungan obat. Setidaknya sampai lima tahun ke depan, sampai dia dinyatakan benar-benar sembuh dari kanker yang dideritanya.
Anak kedua pasangan Husni Mubarok (40) dan Ety (35), warga asal Purwakarta, Jawa Tengah, ini sudah kehilangan bola mata sebelah kanannya. Namun, tak sedikit pun itu menyurutkan niatnya menjadi penari, pelukis, atau pun penyanyi saat dia besar kelak.
“Biar sakit saya masih tetap punya cita-cita,” kata siswa kelas IV SD Negeri Sukahaji, Purwakarta, saat ditemui SH, di Yayasan Anyo Indonesia, Jalan Anggrek Nelli Murni blok A 110, Slipi, Palmerah, Jakarta Barat, belum lama ini.
Husni bercerita, anaknya terkena kanker mata saat usia 4 tahun. Kala itu, ada titik putih di bola matanya lalu terus membesar. Julia dibawa berobat ke RS Cicendo Bandung dan dirujuk ke RS Hasan Sadikin Bandung. Julia pun divonis kanker mata. Sebagai pencegahan agar kankernya tidak merambat, terpaksa bola matanya harus dicongkel.
“Sayangnya donor bola mata tidak mampu menolongnya, karena donor itu hanya korneanya saja, sedangkan Julia sudah tergolong parah, hingga ke syaraf dan bagian lainnya sudah ditumbuhi kanker. Waktu itu, benjolannya sudah besar, hampir menutupi wajahnya. Jadi matanya hilang sebelah kanan,” tuturnya.
Di Bandung, Julia mendapat pengobatan tiga tahun. Meski memakai Jamkesmas, tetap saja sang ayah yang hanya berprofesi sebagai sopir angkot kewalahan dalam hal pembiayaan. Setelah dinyatakan sembuh di usia yang ke-7, Julia pun kembali ke rumah. Namun, baru delapan bulan tinggal bersama keluarga, kanker yang ada di tubuh Julia kembali hidup.
Husni pun mencari pengobatan buat anaknya. Tetapi, Julia malah menolak. Perlahan ia meyakinkan anak dan akhirnya dibawa ke RS Dharmais, Jakarta Barat. Tahun 2010, Julia dibawa ke Jakarta setelah berbagai syarat untuk berobat gratis terpenuhi.
Setiba di Jakarta, kemudian mereka bingung untuk bermalam. Dari pihak RS Dharmais, kemudian mereka merekomendasikan untuk tinggal di Yayasan Kanker Indonesia, yang kini sudah berganti menjadi Yayasan Anyo Indonesisa yang peduli dengan kanker terhadap anak.
Julia pun seperti menemukan hidup baru. Dua tahun tinggal di sana, dia mendapat pelajaran berarti bagaimana berartinya hidup. Ini karena banyak anak seusianya yang ingin bertahan hidup melawan penyakit kanker. Berkat kuasa Tuhan, Julia hingga kini mampu bertahan dari kanker yang sewaktu-waktu bisa muncul kembali dari dalam tubuhnya.
“Saya sudah dua tahun di Jakarta. Dulu setiap dua minggu sekali harus datang karena Julia di kemoterapi di Dharmais. Sekarang di sini dia banyak teman, cita-citanya hidup kembali, penyakitnya juga berangsur membaik. Pemeriksaan kepada Julia sudah mulai berkurang yang tadinya dua minggu sekali, sekarang sudah sebulan sekali, dan nanti bertahap ke satu tahun sekali, dan terakhir lima tahun dari terakhir dia dikemoterapi, di situ baru dinyatakan sembuh,” imbuhnya.
Rumah Anyo
Ketua Yayasan Anyo Indonesia (YAI) Pinta Manullang Pangabean mengatakan, pendirian yayasan itu berdasarkan pengalaman hidup yang dijalaninya. Nama Anyo merupakan panggilan anak tercintanya, Andrew Manullang (19), yang meninggal akibat kanker darah (leukemia). “Anak saya berobat di Belanda, di sana saya dan anak saya juga tinggal di yayasan kanker yang seperti saya buat ini,” tuturnya.
Meninggalnya sang putra tercinta pada Desember 2008 membuat dirinya membaktikan diri untuk anak-anak penderita kanker. Segeralah dia berkecimpung di Yayasan Kanker Indonesia, bahkan rumah orang tuanya rela dijadikan yayasan itu, sebelum berganti nama menjadi YAI pada Juni 2012. “Rumah Anyo (dulunya) rumah orang tua saya, tapi sekarang sudah bukan lagi dan sudah menjadi milik yayasan,” ucapnya.
Di rumah itu 24 anak tinggal bersama orang tuanya. Namun, saat ini baru ada 12 anak penderita berbagai jenis kanker yang mendapat perawatan. Tidak sulit untuk menjadi penghuni yayasan. Mereka hanya mendaftar dan membayar iuran Rp 5.000 per hari untuk biaya inap.
Selain itu, beragam fasilitas belajar mengajar anak tersedia sehingga sang anak tetap bisa mengembangkan bakat dan kemampuannya. Di yayasan itu juga diurusi beragam prosedur untuk program pengobatan gratis, seperti Jamkesmas, Jamkesda, dan SKTM sehingga keluarga tidak perlu lagi pusing mengurusi hal tersebut ketika sang anak sedang dalam proses pengobatan.
“Iuran Rp 5.000 jika mampu saja, kalau tidak mampu nggak masalah. Saya berlakukan itu, agar ada rasa memiliki bagi penghuni. Saya kepingin mereka di sini itu bukan numpang tapi bayar. Para orang tua juga rajin, selalu menjaga kebersihan rumah,” tuturnya.
Spesialis Kanker Anak dr Edi Setiawan Tehuteru mengatakan, berdasarkan data World Health Organization, sekitar 6,35 juta kasus kanker setiap tahunnya, 4 persen atau sekitar 250.000 di antaranya adalah anak-anak. Sementara di Indonesia setiap tahunnya ditemukan 4.100 kasus kanker yang menyerang anak-anak.
Jumlah penderita tersebut cukup banyak. Di Indonesia hanya ada 70 dokter spesialis kanker anak. Sementara alat-alat kedokteran untuk penyakit kanker di Indonesia masih kurang memadai. “Profesi dokter kanker tidak digemari. Di Indonesia banyak anggapan kalau sudah terkena kanker pasti akan mati dalam waktu cepat,” tuturnya. Dikatakan, kanker dapat disembuhkan jika penanganan dilakukan sejak stadium awal.(Dany Putra)