Para survivor kanker tak butuh dikasihani, mereka lebih butuh diterima kembali secara tak berbeda.
JAKARTA - “Panggil saja saya Mimi. Saya lebih suka dipanggil begitu oleh orang-orang yang lebih muda. Biar tak berjarak.” Ini kalimat perkenalan dari seorang perempuan separuh baya yang menyambut kami di halaman rumahnya di kawasan Rawamangun.
|
Mimi (kaos pink) berlatih teater/SH/Job Palar |
Di masa mudanya, Mimi adalah seorang penari yang juga jago menyanyi. Jejak-jejak kejayaannya tersisa di postur tubuhnya yang langsing, jalannya yang tegap, suaranya yang lantang, dan wajahnya yang memancarkan rasa percaya diri yang kuat.
Mimi, atau orang mengenalnya sebagai Laksmi Notokusumo, kini tidak bisa lagi menyanyi selantang dulu. Ia sudah kehilangan kemampuan menjangkau nada dalam rentang satu oktaf. Itu karena ia telah menjalani operasi karena kanker payudara. Usianya sudah 65 tahun, rambutnya putih semua, dan dipangkas pendek, mirip laki-laki.
Dulu, rambutnya pernah hilang sama sekali. Plontos tanpa sisa. Tapi semangatnya tak hilang. Berbicara dengannya, sama sekali tak ada terlintas bayangan bahwa ia adalah seorang survivor kanker. Sebaliknya, Mimi begitu bersemangat dalam berbicara. Semangat itulah yang coba ia tularkan kepada sesama survivor kanker lewat kesenian. Ia melatih teater dan juga tari untuk mereka.
Teras belakang rumahnya mirip sebuah panggung kecil. Berlantai kayu dan beberapa sentimeter lebih tinggi dari lantai di dalam rumah. Ada dua perempuan dan seorang laki-laki di sana tengah melatih dialog. Tuti dan Tauria juga survivor kanker.
Tuti telah kehilangan satu payudara sebelah kirinya. Dengan ringan, ia menyebut dirinya “WTS” atau Wanita Tetek Satu. Usianya 47 tahun. Ia baru kehilangan salah satu bagian tubuh kebanggaannya itu sejak Agustus 2010.
Seperti Mimi, Tuti juga tak terlihat murung. Ia bergerak lincah layaknya perempuan sehat. Padahal, lengan kanannya selalu dibebat perban agar tak menanggung beban secara berlebihan. Ia bahkan tak menutupi kekurangan satu payudaranya. Ia tak berusaha menggunakan sumpal apa pun di balik kutangnya untuk membuatnya terlihat seperti normal. Ia sudah berdamai dengan keadaannya.
Selain Tuti dan Tauria, Bambang Ismantoro, atau mereka memanggilnya Bei, juga ikut berlatih. Padahal, dia bukan survivor kanker. Namun, kanker bukan penyakit yang jauh darinya. Ibunya menderita kanker kelenjar getah bening.
Ia ikut dalam Cancer Information and Support Center (CISC) yang bergerak di bidang penyuluhan, pembimbingan, dan pendampingan pasien kanker. Di lembaga ini, tak cuma survivor yang bisa berpartisipasi. Simpatisan seperti Bei pun banyak di sana. Rata-rata pernah memiliki pengalaman pahit dengan kanker sehingga kehilangan orang-orang yang mereka kasihi.
Kata Mimi, mereka akan tampil dalam sebuah festival kesenian di London School, akhir Februari ini. “Ini sebagai salah satu cara untuk meyakinkan dan mengembalikan para survivor ke publik,” katanya. Mereka juga pernah tampil di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta, dalam ajang festival monolog. Di sana, mereka dinilai oleh aktor-aktor panggung ternama.
“Pada waktu latihan, yang datang cuma sedikit. Begitu manggung, 20 orang mau ikut tampil. Para juri tanya bagaimana kami akan menilainya. Tapi saya bilang nggak penting. Yang penting mereka ketemu artis, diapresiasi artis. Yang penting mereka merasa diterima kembali,” kata Mimi.
Tak Berbeda
Merasa diterima kembali, itu kata-kata kunci bagi Mimi dalam melatih rekan-rekannya. Ia ingin mereka bisa kembali ke masyarakat tanpa dipandang berbeda ataupun diberi pandangan atau perlakuan belas kasihan.
“Ada kesalahan sistem atau pola pikir. Masyarakat kita justru memupuk rasa kasihan kepada para survivor. Padahal, apa yang saya pernah pelajari di Jerman, tak boleh dikasihani. Mereka harus dikembalikan, diberi kepercayaan bahwa kita itu survivor, tapi sekarang ini kita harus kembali ke masyarakat, bahkan dengan kekurangan harus tunjukkan kelebihan. Sama lah dengan yang lain,” tutur Mimi panjang lebar.
Mimi bercerita ia pernah diajak almarhum Harry Roesli menghadiri lokakarya seni membantu mengembalikan fisik dan psikis mantan penderita CA dan AIDS, pada 1990-an. Pembicaranya Doctor Von Schwind dari Jerman. Waktu itu, ia belum menjalani operasi. Tapi, sudah pernah dibiopsi pada 1978 karena ditemukan lima benjolan di kedua payudaranya. Lokakarya itu membahas bagaimana kesenian bisa mengembalikan mental psikis penderita AIDS dan kanker.
Berbekal pengetahuan itu, Mimi yakin kesenian memang bisa mengembalikan kemampuan motorik para survivor kanker yang telah didera bermacam-macam obat-obatan dan terapi kimia. Ketika diminta Aryanthi Baramuli, Ketua Umum CSIC saat ia bergabung pada 2010, mengajar teater untuk para survivor, ia menyambutnya dengan antusias. “Bukan menampilkan operetnya yang penting, tapi bagaimana mereka bisa merasa diterima kembali,” kata Mimi.
Namun, meyakinkan para survivor itu tidak mudah. Kenyataannya, yang ikut berlatih sangat sedikit. Tapi, Mimi punya keyakinan. Diam-diam ia menyimpan file bahwa yang ikut berlatih ternyata mengalami perkembangan yang sangat besar. Dulu, mereka mengambil barang lalu disuruh mengembalikan ke tempat semula, sulit sekali. “Sekarang, bahkan mereka sudah bisa berdansa. Saya saja kalah,” kata Mimi.
Mimi tak ingin mengatakan semua itu karena dia semata. Tapi, dia yakin latihan-latihan teater yang dijalani rekan-rekannya memiliki andil besar dalam perkembangan itu. “Karena secara mental, semua unsur terhidupkan. Itu yang membuat saya percaya. Latihan-latihan semacam ini di Jerman dan di Amerika sudah biasa untuk memulihkan kembali kemampuan motorik pasien kanker,” katanya.
Di Amerika, kata Mimi, para survivor malah bermain film bersama Angelina Jolie. Sementara di Jerman, mereka memang tidak lagi memanggil dokter. “Karena apa? Kalau dokter ya, sama saja kesannya dengan berobat. Pergi saja ke psikolog. Yang perlu justru rasa berbagi. Saya bisa karena saya orang teater, saya orang tari. Tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang,” ujarnya.
Tak hanya menari dan berteater, Mimi juga mengajak teman-temannya untuk menjahit dan membuat tas perca untuk dijual. Hasilnya? Tak cuma dapat menambah penghasilan, mereka juga diterima kembali dalam masyarakat.
Bahkan, seorang suami yang telah meninggalkan seorang survivor kanker kembali lagi setelah tahu istrinya sudah mulai menjahit lagi. “It's only about patchwork, perca. Namun, hasilnya luar biasa,” tuturnya.