Feng selalu terbayang-bayang wajah suami dan putranya yang meninggal akibat kanker.
|
Polusi membuat desa ini penuh dengan penderita kanker?/CNN |
KAMPUNG WULI - Feng Xiaofeng berjalan menyusuri gang menuju rumahnya di Wuli, kampung biasa yang terletak di provinsi Zhejiang bagian timur China, yang dibebani dengan masalah yang luar biasa.
Feng cepat-cepat mendorong pintu rumahnya. Namun, sebelum mengeluarkan sepatah kata, dia mulai menangis dan menunjuk ke arah dua pigura foto yang sama persis, yang digantung berdampingan di dinding rumahnya. Foto seorang lelaki tua dan lelaki yang berusia lebih muda. Kedua foto itu kelihatannya seperti foto paspor atau foto resmi yang sudah pudar.
Kedua foto ini terus menghantui Feng.
"Saya tidak ingin tinggal di rumah ini. Saya tidak ingin tidur di sini di malam hari," sahutnya. "Suami saya adalah pilar keluarga dan ketika dia meninggal rasanya seperti pilar rumah kami runtuh. Kemudian anak laki-laki saya juga meninggal."
Keduanya meninggal terpaut jarak 10 tahun akibat kanker.
Suara tangisan Feng menarik sejumlah penduduk kampung berkumpul di halaman rumah Feng yang mungil. Mereka juga memiliki cerita masing-masing.
Menjanjikan Kemakmuran
Mereka mengungkapkan bahwa Wuli dulu pernah terkenal karena bukit-bukit berhutan dan tanahnya yang subur. Tahun 1990, sejumlah pejabat pemerintah datang ke situ dan menjanjikan kemakmuran. "Semua pejabat lokal mengisi kantong mereka dengan uang," kata seorang perempuan tua dengan nada marah. Selama periode itu, sejumlah perusahaan tekstil pindah ke Wuli, membangun pabrik mereka di penjuru kota.
"Semua pabrik ini seharusnya dipindahkan karena mereka semua menyebabkan penyakit kanker," kata salah seorang laki-laki, sementara warga yang lainnya mengangguk-anggukkan kepala mereka. "Semua pabrik ini seharusnya dipindahkan dari sini."
Mereka mengatakan bahwa Wuli sekarang adalah "kampung kanker."
Istilah ini muncul beberapa tahun yang lalu, ketika ketika sejumlah wartawan sekaligus aktivis China seperti Deng Fei mendapatkan bukti betapa tingginya angka kanker di seluruh China, terutama di daerah pedesaan yang didominasi oleh industri.
Deng, yang waktu itu bekerja di sebuah majalah yang berkantor di Hong Kong, memfokuskan tulisannya pada dampak dari pencemaran air di daerah pedesaan China.
"Karena air sangat penting bagi manusia, polusi menimbulkan dampak yang lebih signifikan terhadap kesehatan masyarakat," katanya.
"China sedang menderita akibat dampak negatif dari pola pertumbuhan ekonomi yang tidak tepat. Dan negara ini akan terus membayar mahal untuk terjadinya polutan berat di masa yang akan datang."
Tahun ini, menghadapi tekanan publik, pemerintah mengakui bahwa kampung kanker itu memang benar ada. "China telah memproduksi dan memanfaatkan produk kimia beracun. Banyak tempat yang mengalami krisis air minum dan polusi yang menyebabkan isu-isu sosial yang serius seperti munculnya kampung kanker," ujar sebuah dokumen yang dipublikasikan menyusul terungkapnya kampung kanker.
Deng menyebutnya sebagai "langkah yang sangat signifikan."
"Hanya dengan mengakui masalah kita dapat menerapkan upaya-upaya nyata untuk menangani masalah ini," katanya.
Tapi bagi aktivis seperti Wei Donying di Kampung Wuli, pengakuan saja tidak cukup.
Ia menggelar peta di atas lantai ruang keluarganya. Ia menaruh foto-foto di bagian yang berbeda-beda di peta tersebut.
"Coba lihat semua ikan yang mati di pantai ini," katanya, "dan di sini, kanal berubah menjadi berwarna merah." Wei memetakan terjadinya polusi beracun selama beberapa dekade belakangan ini. Pada 2002 ia sendiri pernah merasa ketakutan mengidap kanker, setelah tumor diangkat dari tubuhnya. Itu jenis tumor yang berbahaya, katanya.
Dia sudah mengajukan keluhan, membuat petisi, dan menjadi duri bagi pemerintah setempat. Ia mengaku dirinya telah dilecehkan dan diancam karena aksinya ini. Bahkan pada hari wawancara dengan CNN, seseorang yang dicurigai sebagai aparat keamanan negara diam-diam mengambil foto ketika CNN tengah bercakap-cakap dengannya. Wei mengatakan ada orang yang mendatanginya untuk mengajukan sejumlah pertanyaan ketika CNN sudah pergi meninggalkan kampung itu.
Wei mengajak CNN berkeliling melihat-lihat pabrik pencelupan, pabrik tekstil, dan pabrik tenun. "Pabrik ini hanya menghapus kata 'kimia' dari nama mereka ketika kami mengajukan keluhan," katanya. "Belum lama ini, kami berjaga-jaga di luar pabrik yang satu ini." Penjaga keamanan terlihat gugup melihat kami melalui pintu gerbang. "Mereka mengenal saya dengan baik," katanya.
"Yang saya inginkan adalah bisa menghirup udara bersih, air minum yang aman dan menggunakan tanah yang tidak terkontaminasi. Itu saja yang saya minta, tapi saya rasa permintaan ini terlalu berlebihan."
Akuntabilitas
Wei yakin bahwa ada salah satu pabrik yang menyebabkan kanker, tetapi semua pabrik membuang air mereka, baik yang sudah diolah maupun atau tidak diolah, ke sungai yang sama, sehingga hampir mustahil untuk memilah-milah mana yang mencemari dan yang nonpolusi.
Greenpeace menyerukan minimnya akuntabilitas "dari kegiatan yang seolah-olah baik-baik saja." Dalam penelitian terbaru yang diberi judul "Ancaman Beracun", mereka mempekerjakan sejumlah ilmuwan untuk menguji air di wilayah tersebut dan mengatakan bahwa mereka menemukan setidaknya 12 bahan kimia beracun.
Seorang pejabat pemerintah lokal yang bertanggung jawab atas Wuli, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan kepada CNN, "kami menyadari situasi ini dan kami telah mencoba yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Ini adalah tanggung jawab kami." Mereka tidak merinci rencana yang akan mereka lakukan itu.
Provinsi Zhejiang adalah pusat industri tekstil China, yang terbesar di dunia. Wilayah ini melayani pesanan dari mayoritas merek pakaian terkenal di dunia. Greenpeace menyerukan transparansi penuh antara pemasok dan merek busana tersebut. Greenpeace ingin pabrik-pabrik tersebut memperbaiki tindakan mereka atau menutup pabrik mereka.
Tapi masalah dengan industri di China jauh lebih kompleks.
Selama 50 tahun terakhir daerah ini bergeser dari daerah pertanian ke industri berat. "Kami mengajukan keluhan dan petisi, tapi tidak ada gunanya, warga biasa tidak akan pernah bisa melawan pejabat dan menang," ujar petani dekat Taman Industri Binhai. Jadi, seperti banyak warga lain di sini, petani itu bekerja di sebuah pabrik pencelupan di malam hari. Dia mengakui itu adalah dilema bahwa mereka harus belajar untuk menjalani hidup seperti ini.
Membayar Mahal
Mungkin kondisi ini kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi China, tapi bagi Feng Xaiofeng masalahnya jauh lebih sederhana. Ia mengatakan bahwa ekspansi industri di kampung Wuli harus dibayar dengan harga yang terlalu mahal.
Ia merasa yakin bahwa pabrik-pabrik itulah menyebabkan suami dan putranya mengidap kanker. Ia berharap pemerintah akan memindahkannya dari rumahnya yang kini kosong melompong. "Tak seorang pun dari pemerintah pernah datang dan menemui saya atau memeriksa kondisi saya."
"Saya sangat sedih. Saya sudah tidak punya air mata lagi untuk dikeluarkan," katanya sendu.