Memukul anak dapat membuat mereka berisiko terkena kanker, sakit jantung dan asma kelak.
|
Memukul anak berisiko memicu stres/Telegraph. | |
JAKARTA – Memukul anak dapat menempatkan mereka pada risiko yang lebih besar terkena kanker, sakit jantung, dan asma di kemudian hari. Demikian temuan kontroversial dari tim peneliti Plymouth University, Amerika Serikat, yang diterbitkan dalam Journal of Behavioural Medicine, seperti dikutip dari Telegraph, Senin (12/11).
Dalam studi, para psikolog bertanya kepada pasien dewasa yang menderita kanker, sakit jantung, dan asma apakah mereka disiksa atau mendapat perlakuan kasar baik secara lisan maupun fisik ketika kecil. Hasilnya, studi menemukan para pasien tersebut lebih cenderung disiksa ketika kecil dibandingkan orang-orang dewasa yang sehat.
Tim dari Universitas Plymouth mengatakan stres yang disebabkan oleh pukulan atau teriakan pada tahun-tahun awal anak dapat menyebabkan perubahan biologis yang cenderung membawa penyakit.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa trauma yang parah di masa kecil, seperti kekerasan fisik atau seksual, dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit kronis di kemudian hari.
Meski begitu, para ahli menuturkan sulit untuk menyingkirkan faktor-faktor lain, seperti kemiskinan dan isolasi sosial yang sering dikaitkan dengan kekerasan fisik dan verbal pada anak dan dapat menyebabkan penyakit di kemudian hari.
Tim peneliti bertanya tentang masa kecil 250 orang dewasa sehat di Arab Saudi dan membandingkan jawaban mereka dengan 150 orang dewasa yang sakit jantung, 150 pasien kanker, dan 150 penderita asma. Para partisipan ditanya apakah mereka dipukuli atau mengalami pelecehan verbal ketika kecil dan seberapa sering.
Hukuman Fisik
Ternyata, para pasien kanker 70 persen lebih cenderung dipukul ketika bocah dibandingkan dengan kelompok sehat. Mereka yang menderita sakit jantung 30 persen lebih cenderung disiksa saat belia dan penderita asma 60 persen mengalami kekerasan ketika kecil dibandingkan dengan mereka yang sehat.
Profesor Michael Hyland dari Fakultas Psikologi Plymouth, yang memimpin penelitian mengatakan: "Stres pada awal kehidupan dalam bentuk trauma dan pelecehan diketahui menciptakan perubahan jangka panjang yang mempengaruhi kecenderungan penyakit di masa depan.”
Di sisi lain, hukuman fisik masih dianggap wajar dalam masyarakat.
“Tetapi, studi menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang menganggap hukuman fisik itu normal, penggunaan hukuman fisik cukup membuat banyak stres yang berdampak jangka panjang persis seperti yang diakibatkan trauma dan pelecehan,” ujar Prof Hyland.
"Penelitian kami menambahkan perspektif baru pada peningkatan bukti bahwa penggunaan hukuman fisik dapat berkontribusi terhadap stres anak, dan ketika itu menjadi hukuman, stressor fisik memberikan kontribusi pada hasil buruk baik bagi individu yang bersangkutan individu maupun bagi masyarakat," dia menegaskan.
Di Inggris, memukul seorang anak hingga meninggalkan bekas terancam hukuman maksimal lima tahun penjara. Di Indonesia, kejahatan yang sama dapat dituntut hukuman paling lama 3 tahun enam bulan penjara dengan Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23/Tahun 2003.
Namun, Prof David Spiegelhalter, Winton Professor Of The Public Understanding Of Risk di Universitas Cambridge, Inggris, mengatakan berhati-hati agar tidak berlebihan menafsirkan penemuan ini.
Ambil contoh, kata dia, kelompok yang sehat diambil dari administrator dan perawat di rumah sakit yang merawat para pasien. “Dengan begitu, kemungkinan mereka berbeda dalam banyak hal dengan orang yang sakit,” kata Prof Spiegelhalter.
Dia juga mempertanyakan: “Kelompok kontrol melaporkan kurang dipukuli atau dicaci-maki ketika bocah, jadi mungkinkah tidak dipukuli mendorong orang untuk memasuki profesi yang peduli pada orang lain, ketimbang melindungi mereka dari penyakit?"
Menurut Dr. Andrea Danese, Dosen Klinis Child & Adolescent Psychiatry di Institute of Psychiatry King College London, penelitian ini menambah kaitan antara pertumbuhan badan dan penganiayaan anak terhadap penyakit di masa depan.
“Ada kemungkinan penganiayaan anak tidak cuma mempengaruhi risiko penyakit mental, tetapi juga berkontribusi terhadap risiko penyakit medis, seperti asma, kanker, dan penyakit jantung,” kata dia. “Ini mungkin berimplikasi besar terhadap cara kita memahami asal-muasal penyakit dan mencegahnya.”
Dr. Danese menekankan, bukti-bukti yang disodorkan sebagian besar berpijak pada laporan retrospektif penganiayaan anak. Dengan kata lain, bukan menilai penganiayaan di masa kecil dan mengikuti anak selama bertahun-tahun hingga mereka dewasa untuk memeriksa status kesehatan mereka. Seringkali peneliti meminta orang-orang dewasa dengan atau tanpa penyakit untuk melaporkan kenangan penganiayaan mereka di masa kecil. Jadi, “klaim ini bisa bias atau dilebih-lebihkan karena orang sakit lebih cenderung melaporkan tidak bahagia di masa kecil.”
Meski begitu, penting juga untuk mengerti mekanisme bahwa penganiayaan anak dapat mempengaruhi kesehatan.
“Jika kita memahami perubahan biologis dan perilaku akibat penganiayaan anak, kita mungkin bisa menghentikan prosesnya sebelum gejala-gejala klinisnya muncul," ujar Dr. Danese.